Monday, August 11, 2014

Pertaruhan Kurikulum Baru

kurikulum2013Mestinya implementasi kurikulum 2013 sudah harus terlaksana pada 14 Juli 2014. Tetapi karena bersamaan dengan masa orientasi sekolah (MOS) dan libur lebaran, kurikulum baru mulai efektif pada Senin, 4 Agustus 2014 kemarin. Dengan pengunduran itu, sudah tentu ada yang dikorbankan, yakni jam belajar menjadi berkurang dan para guru harus mengejar target materi pada bulan-bulan berikutnya.
Tak pelak, persiapan yang kurang maksimal itu mulai menuai kritik dan mungkin kian menjadi-jadi jika sampai akhir Agustus tidak kemajuan yang berarti. Itu tentu saja mengganggu pikiran Pak Nuh (Mendikbud) dan membuatnya kurang tidur.
Implementasi kurikulum 2013 juga harus berjalan dengan syarat dan peranti yang lengkap. Yiatu, seluruhguru harus terlebih dahulu dilatih. Dalam hal penyediaan buku -meminjam istilah Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, buku-buku harus sudah tersedia di sekolah sebelum anak didik duduk manis di bangku kelas. Apa jadinya jika tahun ajaran baru (TAB) dimulai keduanya belum kelar? Tentu pemerintah akan kelimpungan dan mencari cara lain meski publik mulai gemas dan sekolah sudah tidak sabar menunggu.
Cara pertama sudah dilakukan. Yaitu, memperpanjang jadwal pelatihan dan memberikan kelonggaran kepada penyedia barang untuk mengirim buku sampai 18 Agustus. Guru-guru yang belum dilatih juga akan mendapatkan giliran -entah sampai kapan. Untuk mengatasi keterlambatan pengiriman buku, sekolah dikirimi compact disk (CD) yang berisi konten buku kurikulum 2013. CD itu bisa digunakan para guru untuk mengajar dan dapat dicetak atau difotokopi sesuai kebutuhan.
Masalah baru muncul. Siap yang menanggung biaya cetak atau biaya fotokopi? Padahal, biaya tersebut lebih mahal ketimbang harga buku itu sendiri. Lalu, kalau terus disuruh menunggu, siap yang menjamin buku-buku itu pasati datang? Bolehlah Kemendikbud menjamin -dan itu sudah mereka buktikan dengan berbagai edaran serta Permendikbud Nomr 53 Tahun 2014. Pak Nuh juga tidak bosan-bosan mendesak yang merupakan pemenang lelang cetak e-catalogue agar mereka bekerja cepat dan dirinya siap membantu. Tetapi, hingga akhir Juli, perkembangannya seperti berjalan di tempat. Tampaknya target 100 persen kian sulit dicapai. Apalagi sukses tidaknya dropping buku itu sepenuhnya bergantung pada kemampuan mereka dan pemerintah hanya bisa membuat aturan yang memudahkannya. Orang tidak tahu bahwa itu pekerjaan raksasa yangmembutuhhkan modal sangat besar dengan teknik penanganan yang rumit. Jumlah buku yang dicetak juga tidak main-main dan waktunya sangat pendek. Itu tidak bisa dibandingkan dengan jumlah lembar surat suara KPU, misalnya. Sebab, 245 juta eksemplar buku yang dicetak ekuivalen dengan 49 miliar halaman jika setiap buku memiliki ketebalan rata-rata 200 halaman. Buku-buku itu harus dijilid dan terkirim di hampir 270 ribu titik dengan kelengkapan SPJ-nya.
Celakanya, logika penyedia barang tidak tidak sesederhana yang dipikirkan pemerintah. Pemerintah hanya mengatakan bahwa buku-buku sudah selesai cetak dan akan tiba di sekolah sebelum TAB dimulai. Padahal, mereka berharap sekolah mau membayar terlebih dulu sebelum melepas barang -dan itu seseuatu yang tidak mungkin terjadi. Merek atakut jika setelah buku terkirim ternyata tidak segera dibayar oleh sekolah. Karena itu, sebagian dari mereka sangat bergantung pada ekspedisi yang juga bertugas sebagai juru tagih.
Bagi sekolah, perubahan kurikulm sebenarnya adalah hal yang rutin saja. Biasanya mereka hanya dibekali pelatihan dan tidak dijanjikan apa-apa, kecuali hanya diminta melaksanakan secara bertahap dan tidak ada persyaratan yang mengikat. Mereka juga tidak dijanjikan menerima buku gratis. Dengan begitu kurikulum baru tetap bisa berjalan dengan atau tanpa buku. Para guru atas prakarsa sendiri tetap bisa mengajar dengan menggunakan sarana yang ada dan berbagai referensi sebagai sumber belajar. Itu berbeda dengan kurikulum 2013. Pada jenjang SD, kegiatan pembelajaran akan macet jika tidak ada buku. Sebab, model pengajaran pada jenjang itu menggunakan pendekatan tematik terpadu dan materi pelajaran disusun sesuai dengan tema yang ditetapkan pemerintah. Para guru yang sudah mendapatkan pelatihan pun akan suit mengembangkan pembelajaran jika tidak ada buku pegangan.
Ketika hanya berharap pada dropping buku, sekolah menjadi tersandera. Jika akhirnya buku-buku itu tidak datang, ia hanya bisa menggunakan peranti CD. Dari sudut itu, kondisi yang demikian tidak seusai dengan tujuan sehingga bisa disebut suatu kemunduran. Dulu, pada zaman buku sekolah elektronik (BSE), sekolah masih bisa membeli BSE versi cetak di toko buku, di samping e-book yang dengan mudah bisa mereka dapatkan dar internet. Dengan hanya memercyakan urusan penyediaan buku kepada pemenang lelang, pemerintah ibarat menaruh telur dalam satu keranjang. Tetapi, jika lelang e-catalogue masih diyakini sebagai sistem yang paling bagus, mestinya akan efektif. Karena itu, Pak Nuh berani mempertaruhkan reputasinya justru di penghujung masa jabatannya.
Sumber: Jawa Pos, opini, (1/8/2014). Ditulis oleh Mursyid Burhanuddin, Direktur Penerbit dan Percetakan Masmedia Group